Sweet Potato
AboutLinksStuffEntries

________________________________________________________________________________________
Rabu, 04 April 2012 | 06.22 | 2 Atasinchi

Clarista tetap berontak. Dia tetap bersikeras untuk tidak mau pindah sekolah. Faktor dari ayahnya yang berpindah pekerjaan, membuatnya dia harus pindah tempat tinggal dan sekolahnya. Dia tidak mau meninggalkan teman-teman dan sahabatnya, Laura.  “Mama, aku tidak mau pindah sekolah..” pinta Clarista. “Tidak bisa, sayang. Dari rumah kita yang baru, jaraknya akan sangat jauh dari sekolahmu ini. Mama sudah menemukan sekolah yang bagus untuk kamu, yang jaraknya tidak jauh dari rumah kita yang baru. Kamu percayalah saja pada mama. “ ungkap mamanya. “Janji?” “Janji.”
Hari itu adalah hari Kamis, di mana hari Sabtu adalah hari terakhir Clarista belajar di sekolah lamanya. Di hari-hari terakhirnya di sekolah itu, Clarista banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya. Hingga tibalah hari Sabtu, hari yang tidak Clarista tunggu-tunggu. “Kenapa hari ini begitu cepat datangnya?” keluh Clarista. Tapi apa boleh dikata, dia memang harus pindah. Mencari orang-orang dan teman-teman baru. Clarista harus kembali bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Hari Senin pun datang, waktunya Clarista untuk pergi ke sekolah. “Kamu harus ramah terhadap teman-teman barumu,“  pesan mamanya. Clarista mengangguk mengerti, dia siap ke sekolah, walau hatinya masih takut dengan keadaan sekolah barunya. Sesampainya di sekolah, banyak gadis-gadis sebaya dengannya memperhatikannya. Memang, seragam Clarista dengan yang lain itu berbeda, sehingga wajar apabila dia menjadi pusat perhatian. Clarista melangkah melewati kantor wakil kepala sekolah. Bu Siska, sebagai wakil kepala sekolah itu, melihat Clarista dan memanggilnya.
“Kamu adalah anak baru itu, ya?” “Iya, Bu.” “Kamu duduk di kantor ibu saja dahulu. Nanti setelah bel berbunyi, ibu akan membawamu ke kelas barumu.” “Oh, baiklah kalau begitu, Bu. Terima kasih sebelumnya.” Setelah Clarista mengucapkan terima kasih, Bu Siska berlalu.
Setelah menunggu dan menunggu, Clarista mendengar bel berbunyi. Tak lama Bu Siska muncul di hadapannya lagi. “Ayo, kita ke kelasmu,” ajak Bu Siska dengan senyum tersungging di bibirnya. “Bu Siska ramah ya...” pikir Clarista dalam hati.
Sesampainya di kelas, Clarista berusaha menahan takut dengan tersenyum. Gurunya meminta Clarista untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Clarista berusaha untuk tetap tersenyum selagi melanjutkan perkenalannya.
Clarista diterima baik oleh teman-teman barunya. Mereka juga tersenyum selagi Clarista memperkenalkan dirinya. Setelah selesai, Clarista diminta untuk duduk di kursi kosong yang berada di belakang, di sebelah seorang lelaki berkacamata. Claristapun duduk disana. Lelaki itu tersenyum. Dia memperkenalkan dirinya.
“Halo, namaku Henry. Salam kenal, ya.” “Oh, halo. “ jawab Clarista sedikit terbata-bata. Selama jam pelajaran, Clarista dan Henry menjadi sering mengobrol. Clarista merasa lebih dekat dengan Henry. Hingga saat bel istirahat berbunyi, Henry mengajak Clarista untuk jajan di kantin. “Maaf, namun aku sudah membawa bekal,” tolak Clarista. “Baiklah. Kamu tunggu di sini sementara aku membeli makanan,” ujar Henry.
Sambil mengeluarkan bekal dari tasnya, Clarista memperhatikan sekitarnya. Teman-teman barunya dengan ramah menerima dirinya, namun dia lebih memilih untuk lebih dekat dengan Henry. Dari cara mereka berinteraksi dengan Henry, banyak yang tidak menyukai Henry. Henry dikenal sebagai anak yang tidak terlalu pintar, dia juga tidak pandai bergaul sehingga tidak memiliki teman. Tinggi Henrypun sedikit lebih kecil daripada Clarista, berkacamata, rambut dibelah dua ditengah, dan sebuah tahi lalat di pipinya. Namun Clarista menyukai semua hal-hal itu, sebagai teman.
Henry berlari-lari kecil menuju tempat duduk dia yang berada di sebelah Clarista. “Aduh, tadi kakiku banyak terinjak kakak kelas, sakit rasanya. Eh, aku sempat membelikanmu kentang goreng. Mau? Kalau tidak, ya, aku yang makan,” tawar Henry. “Tidak usah. Bekal ini cukup untukku. Terima kasih sebelumnya,” tolak Clarista. Henrypun tersenyum lalu mulai memakan nasi kuning yang tadi dibelinya di kantin. Clarista telah selesai makan, namun Henry belum. Ketika Clarista memperhatikan sekitar selagi menunggu, seseorang memanggil Clarista.
“Hey, kamu, si anak baru! Kemarilah!” ujar orang itu. Clarista dengan sigap langsung berjalan ke tempat orang itu duduk. “Ada apa?” tanya Clarista. “Duduklah disini.” Clarista menuruti. Ketika Clarista menarik kursi untuk duduk, orang itu langsung memulai pembicaraan. “Kamu sepertinya dekat dengan Henry, ya. Kok kamu mau sih? Dia itu jelek, tidak punya banyak teman,” cetus orang itu. “Kita seharusnya tidak boleh membeda-bedakan orang, bukan?” ungkap Clarista. “Iya, tapi… Baiklah itu terserah kamu sih. Oh iya, aku Sisil, salam kenal ya.” “Salam kenal juga, Sisil.”
Clarista kembali duduk ke tempat duduknya semula. Henry langsung bertanya, “Tadi kamu ditanya apa oleh Sisil? Tentang aku, ya?” “Iya. Dia bilang–“ “Tidak usah dilanjutkan, aku sudah tahu,” ungkap Henry sedih.  “Mereka tidak suka padaku, aku seperti orang yang tidak dibutuhkan mereka. Terkadang aku telah berusaha untuk menjadikan mereka teman, tapi tetap saja, akhirnya mereka menjauh. “ Clarista tersenyum sambil berkata, “Aku suka mempunyai teman sepertimu.“ 
Bel masuk kelas berbunyi. Mereka kembali belajar. Hingga waktunya pulang sekolah, Henry menawarkan untuk mengantarnya sampai gerbang sekolah. “Tidak usah,” tolak Clarista sambil tersenyum kecil. Clarista kemudian berlalu. Rupanya mamanya sudah menjemput menggunakan mobil, Clarista langsung masuk mobil dan bercerita pada mamanya. Hingga dalam perjalanan pulang, Clarista masih bercerita tentang sekolah barunya. Clarista masih bersemangat. Sesampainya Clarista di rumah, dilihatnya Henry berdiri di ujung jalan. Ketika turun, Clarista langsung berlari ke tempat berdirinya Henry. “Kok kamu ada disini?” tanya Clarista. Henry menjawab, “Rumahku ada di dekat sini.” “Oh, rumahku disana, yang berpagar putih. Kalau mau main, datang saja,” kata Clarista.
Keesokan harinya, Clarista diajak oleh mamanya Henry untuk pergi sekolah bersama. Hingga selanjutnya, mereka sudah menjadi sahabat. Di sekolah, di mana ada Clarista selalu ada Henry. Mereka sangat akrab, orangtua mereka pun juga sudah mengenal satu sama lain.
Dan pada suatu saat, Clarista merasa Henry sedikit menjauh. Dia seperti ingin sendiri. Clarista pun diam saja. Dia melampiaskan dengan bermain bersama yang lain.
Keesokan harinya, Henry tidak masuk sekolah. Clarista berniat untuk bertemu dengan Henry di rumahnya setelah pulang sekolah. Dan ketika tiba saat pulang sekolah, Clarista langsung meminta mamanya untuk mengantarkannya ke rumah Henry. Setibanya di rumah Henry, dilihatnya rumah itu sepi, tidak ada orang. Clarista sedikit kecewa. “Henry apa kabarnya ya…” tanya Clarista pada diri sendiri dalam hati. Clarista melangkah lesu ke rumahnya. Sesampainya dirumah, Clarista langsung merebahkan badannya ke sofa di ruang keluarga. Clarista lalu mengehmbuskan nafas panjang.
“Ada apa denganmu, sayang?” tanya mamanya yang bingung melihat tingkah laku putrinya yang biasa ceria tersebut. “Tidak apa-apa kok ma. Aku hanya lelah,” jawab Clarista. Ibunya lalu tersenyum lalu mengingat sesuatu. “Oh iya, tadi Henry tidak masuk ya? Siang tadi mama melihat dia ada di depan rumahnya, dan menitipkan surat yang seharusnya diberikan kepadamu. Sebentar ya, mama ambilkan. “
Clarista langsung tegang. Mengapa tadi Henry tidak masuk? Mengapa Henry harus memberikan sebuah surat? Apa isi surat itu? Banyak pertanyaan yang muncul di benak Clarista. Mamanya kembali sambil memberikan sebuah amplop kecil. “Ini suratnya, katanya kamu boleh membuka seminggu setelah hari ini,” mamanya memberitahu. “Baiklah, ma.”
Hari-hari setelahnya, Henry sudah tidak masuk sekolah lagi. Clarista makin penasaran. Seminggu dilaluinya dengan berat. Dia ingin bertemu dan bermain lagi dengan Henry.  Hingga seminggu terlewati, dengan hati-hati Clarista membuka surat itu. Clarista mulai membacanya.

“Clarista, kamu apa kabar? Semoga baik-baik saja ya. Aku kangen kamu, Clarista. Tahu tidak, aku pindah ke luar kota sekarang. Bagaimana keadaan di Jakarta? Pasti tidak ada yang memperdulikan aku yang sudah berhari-hari tidak masuk. Kalau Clarista, bagaimana? Hehe. Clarista, sebenarnya aku juga tidak mau pergi. Tapi mau bagaimana, sakit jantung bawaan dari orangtuaku memang sudah harus ditangani. Aku belum pernah menceritakannya padamu ya? Iya, karena aku tidak mau melihat kamu harus sedih karena aku menderita sakit yang seperti ini. Kemarin, sebelum kamu membuka surat ini, aku pasti mengalami koma. Aku berdoa, supaya aku bisa sembuh dan bisa bertemu dengan Clarista lagi. Tapi apa boleh buat, pagi ini aku pasti sudah dipanggil Tuhan. Tuhan sayang padaku, Dia tidak mau melihatku makin sakit karena penyakit yang kuderita ini. Clarista jangan sedih ya. Aku disini tidak mau melihatmu menangis. Banyak orang yang lebih baik daripada aku. Kamu bisa mencari sahabat lagi. Dalam lubuk hatiku, sebenarnya aku ingin mengungkapkan sesuatu untukmu, namun aku takut jika Clarista menolaknya dan membenci aku. Sebenarnya, aku sayang padamu, Clarista.
Baiklah, sampai disini dulu ya. Jadilah gadis baik, seperti waktu pertama kali kita bertemu. 
                                                                                     Tertanda,


                                                                         Henry.”


Clarista tak kuat menahan sedihnya, dia menangis. Namun apa boleh dikata Henry sudah tiada. Sudah saatnya Clarista harus mencari sahabat baik, seperti Laura, dan terutama Henry. Clarista berjanji, untuk kedepannya, Clarista harus menyayangi orang-orang yang ada disekitarnya, seperti teman, sahabat, guru, saudara dan orangtua. Karena apabila mereka sudah tiada, kita tidak bisa membalas budi baik mereka.

Label:

PAST FUTURE


_______________________________________
◕ Disclaimer ◕


Holla ! You've dropped in my space. Be nice here and copycats not allowed. Thank you :)

_______________________________________
◕ Shout Here ◕


_______________________________________
◕ Big Claps ◕

no edit for this :)
Basecode : Ana Min- Ji
Template : Sya Syahirah
Header : OneWifey
Tutorial : OneWifey
BestView : Google